(Sumber: Pinterest)
Kritik sebagai elemen yang tidak terpisahkan dari kepemimpinan maupun siapapun pasti akan menghadapinya. Bahkan pemimpin-pemimpin (khalifah) besar Islam yang dikenal bijak dan adil tidak terlepas dari kritik rakyatnya. Kritik yang dilontarkan akan menyakitkan jika disampaikan dengan nada tajam dan langsung. Namun, bagi seorang pemimpin kritikan dapat menjadi ujian ego, bagaimana respon pemimpin dalam menghadapi kritik tersebut ketika berada dalam kekuasaan.
Sementara itu, Sayyidina Umar bin Khattab memberikan teladan yang berbeda. Ketika dihadapkan kritik beliau tidak marah bahkan merasa terancam tetapi beliau menghadapi kritik dengan ketenangan dan kebesaran hati. Apabila kritik datang beliau tidak pernah membalas dengan amarah namun dengan kesantunan.
Suatu hari ditengah khalayak umum Umar bin Khattab didatangi oleh seorang pria dengan lantangnya ia mengatakan “Bertakwalah kepada Allah, wahai Umar!”. Seruan tersebut tentu mengejutkan banyak orang, Umar sebagai pemimpin yang dihormati tidak sepantasnya mendapatkan peringatan seperti itu di depan umum. Masyarakat hendak menyuruh pria itu diam namun Umar menghentikannya.
Dengan ketenangan, Umar menoleh dan menjawab “Tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak mendengarnya.” perkataan tersebut memberitahukan bahwa sebagai seorang pemimpin nasehat dan kritik rakyat sebagai hal yang harus diterima dengan kelapangan dada bukan dianggap sebagai hinaan.
Sayyidina Umar bersyukur dan berterimakasih apabila ada seseorang yang berani menunjukkan kesalahan Umar. Dikutip oleh Imam Al-Ghazali, Umar pernah berkata;
كان عمر رضي الله عنه يقول: رحم الله امرأ أهدى الي عيوبي
Artinya: “Umar bin Khattab pernah berkata, 'Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kesalahanku'.”. (Ihya 'Ulumiddin, [Indonesia, Karya Thaha Putra: tt.], jilid III, halaman 62).
Sikap keteladanan juga ditunjukkan oleh Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwasanya beliau tidak hanya terbuka pada masukan tetapi juga mendorong agar setiap keputusan dan tindakan yang beliau lakukan mendapatkan penilaian atau evaluasi. Hal tersebut tersampaikan jelas dalam khutbahnya tentang tanggung jawab dalam kepemimpinannya:
فإن أحسنت فأعينوني وإن زغت فقوموني
Artinya: “Jika aku berbuat baik, maka bantulah aku. Namun jika aku menyimpang, luruskanlah aku.” (As-Suyuthi, Jam’ul Jawami’, [Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1971], jilid XI, halaman 82).
Abu Bakar memberikan teladan dengan membuka ruang untuk koreksi dan evaluasi dalam kepemimpinannya. Ia tidak menuntut masyarakat untuk taklid buta terhadap setiap keputusannya. Sebaliknya, beliau memberikan ruang untuk rakyatnya menilai dan mengkaji ulang setiap keputusannya, Abu Bakar menegaskan dalam salah satu khutbahnya:
فأطيعوني ما أطعت الله فإذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم
Artinya: “Maka taatlah kepadaku selama saya taat kepada Allah swt. Jika saya durhaka kepada-Nya dan rasul-Nya, maka jangan taat kalian kepada saya”. (As-Suyuthi, Jam’ul Jawami’, halaman 82).
Dengan demikian, sebagai pemimpin sudah seharusnya kita meneladani sikap kepemimpinan Umar bin Khattab dan Abu Bakar sebagai pemimpin yang selalu siap dikritik, dikoreksi dan dievaluasi. Sebagai pemimpin yang bijaksana tidak boleh menjadi pemimpin yang anti dalam kritikan. Kritik bukan ancaman melainkan nasihat untuk membantu seorang pemimpin dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
Penulis : Neha Latifatunikmah
comment 0 Comments
more_vert